TUGAS
MIKROBIOLOGI
Cara
Virus HIV Menyerang Sistem Imun Tubuh
Disusunoleh
:
Apriliani
Nur Hidayah (P17420213085)
1C
POLTEKKES KEMENKES
SEMARANG
PRODI DIII
KEPERAWATAN PURWOKERTO
TAHUN AJARAN
2012/2013
PENDAHULUAN
A. Penjelasan
Virus HIV
HIV merupakan singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus. Virus ini tergolong dalam retrovirus. Sebuah virus yang
terbentuk dari satu benang tunggal atau RNA. Virus yang hanya terbentuk dari
satu benang tunggal itu berubah menjadi DNA ketika sudah menginfeksi sel. RNA
menginfeksi sel dan mengubahnya menjadi DNA menggunakan enzim yang disebut
reverse transcriptase.
Pada
penyakit HIV, sel yang diinfeksi oleh virus RNA adalah sel pada sistem
kekebalan tubuh manusia. Terutama sel-T dan Makrofaga, dimana keduanya
merupakan komponen vital dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Selayaknya sel
yang terinfeksi, fungsi sel-T dan Makrofaga yang penting itu akan rusak dan
hancur. Jika sudah demikian, sistem kekebalan manusia akan rapuh. Penyakit
selanjutnya yang siap mengantri akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh adalah
AIDS.
Penggunaan
istilah HIV untuk penyebaran virus retrovirus yang dapat menyebabkan AIDS itu
digunakan pertama kalinya pada tahun 1986. Pencetusnya adalah Luc Montagnier
yang berasal dari Perancis. Istilah sebelum HIV adalah LAV atau Lymphadenopathy
Associated virus dan HTLV-III atau Human T Lymphotropic Virus Type III.
HIV
dapat menular karena beberapa hal, yaitu seks bebas, berganti pasangan saat
melakukan hubungan intim, berhubungan intim tanpa menggunakan alat pengaman,
transfusi darah dari penderita ke bukan penderita, penggunaan jarum suntik yang
digunakan untuk memasukkan berbagai zat terlarang kedalam tubuh secara
bersamaan, air susu yang diminum bayi dari ibu penderita penyakit HIV. Sampai
sekarang penyakit HIV belum ditemukan obatnya, yang selalu didengungkan agar
tidak terinfeksi HIV adalah “save sex” dan penggunaan jarum suntik yang tidak
boleh bersamaan serta hidup bersih dan teratur.
Jika
virus HIV dapat ditanggulangi maka kehadiran penyakit AIDS dapat dicegah. WHO
sendiri telah memiliki data dari 1981 ampai dengan 2006 lalu, HIV yang
menyebabkan penyakit AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang di seluruh dunia. Puncak penyebaran HIV
terjadi pada tahun 2004. Dalam waktu setahun, 2,1 juta orang terinfeksi HIV.
Negara dengan warganya yang terinfeksi virus HIV terbanyak adalah afrika. Pada
2005, 90 juta masyarakat afrika diduga akan terinfeksi virus ini.
PEMBAHASAN
B. Cara
virus HIV Menyerang Sistem Imun Tubuh
Tubuh
mempunyai sistem kekebalan yang bertugas untuk melindungi kita dari penyakit
apapun yang menyerang kita dari luar. Antibodi adalah protein yang dibuat oleh
sistem kekebalan tubuh ketika benda asing masuk ke tubuh manusia. Bersama
dengan bagian sistem kekebalan tubuh yang lain, antibodi bekerja untuk
menghancurkan berbagai penyebab penyakit : yaitu bakteri, jamur, virus dan
sebagainya.
Sistem
kekebalan tubuh kita membuat antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan kuman
yang dilawannya. Ada antibodi khusus untuk semua penyakit, termasuk HIV.
Antibodi khusus HIV inilah yang terdeteksi keberadaannya ketika hasil tes HIV
kita dinyatakan reaktif (positif). Salah satu jenis antibodi yang berbeda pada
sel darah putih adalah sel CD4. Fungsinya untuk saklar yang menghidupkan dan
memadamkan kegiatan sistem kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman yang
harus dilawan.
HIV
yang masuk ke tubuh sel CD4, ’membajak’ sel tersebut, dan mejadikannya ‘pabrik’
yang membuat miliaran virus baru. Ketika
proses tersebut selesai, partikel HIV yang baru meninggalkan sel dan masuk ke sel
CD4 yang lain, sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini
hancur atau jumlahnya berkurang, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan
kemampuan untuk melindungi tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini
membuat kita mudah terserang berbagai penyakit.
Jumlah
sel CD4 dapat dihitung melalui tes darah khusus. Jumlah normal orang sehat
berkisar antara 500-1000. Setelah kita terinfeksi HIV, jumlah ini biasanya
turun terus. Jadi kadar ini mencerminkan kesehatan sistem kekebalan tubuh kita,
semakin rendah semakin rusak sistem kekebalan. Jika jumlah CD4 turun dibawah
200, ini menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh kita sudah cukup rusak
sehingga infeksi oportunistik dapat menyerang tubuh kita. Ini berarti kita
sudah sampai pada fase AIDS. Kita dapat memepertahankan sistem kekebalan tubuh
kita agar tetap baik dengan memakai obat antiretroviral.
Infeksi
HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun alamiah dan didapat. Gangguan
yang paling jelas adalah pada imunitas selular, dan dilakukan melalui berbagai
mekanisme yaitu efek sitopatik langsung dan tidak langsung. Penyebab terpenting
kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV adalah efek sitopatik langsung.
Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV terhadap sel T CD4+ antara
lain:
- Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan budding partikel virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma dan masuknya sejumlah besar kalsium yang akan menginduksi apoptosis atau lisis osmotik akibat masuknya air. Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga menyebabkan kematian sel.
- DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah besar bersifat toksik terhadap sel tersebut.
- Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ yang belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan membentuk multinucleated giant cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan kematian sel-sel T yang bergabung tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in vitro, dan syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS
Pembentukan sel sinsitia
Selain efek sitopatik langsung, terdapat beberapa mekanisme
tidak langsung yang mengakibatkan gangguan jumlah dan fungsi sel T yaitu:
- Sel yang tidak terinfeksi HIV akan teraktivasi secara kronik oleh infeksi lain yang mengenai pasien HIV dan oleh sitokin yang terbentuk pada infeksi lain tersebut. Aktivasi ini diikuti apoptosis yang disebut dengan activation-induced cell death. Mekanisme ini menjelaskan terjadinya kematian sel T yang jumlahnya jauh melebihi sel terinfeksi HIV.
- Sel T sitotoksik yang spesifik HIV terdapat pada banyak pasien AIDS. Sel ini dapat membunuh sel T CD4+ yang terinfeksi HIV.
- Antibodi terhadap protein envelope HIV dapat berikatan dengan sel T CD4+ yang terinfeksi dan menyebabkan antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC).
- Penempelan gp120 pada CD4 intrasel yang baru disintesis akan mengganggu pemrosesan protein di retikulum endoplasma dan menghambat ekspresi CD4 di permukaan sel, sehingga tidak dapat merespons stimulasi antigen.
- Terjadi gangguan maturasi sel T CD4+ di timus.
Pentingnya peranan berbagai mekanisme tidak langsung ini
terhadap kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV masih belum jelas dan
kontroversial. Gangguan sistem imun pada pasien HIV dapat dideteksi bahkan
sebelum terjadi kekurangan sel T CD4+ yang signifikan. Gangguan ini
mencakup penurunan respons sel T memori terhadap antigen, penurunan respons sel
T sitotoksik terhadap infeksi virus, dan lemahnya respons imun humoral terhadap
antigen walaupun kadar IgE total mungkin meningkat. Disregulasi produksi
sitokin pada infeksi HIV juga akan mengakibatkan aktivasi sel T CD4 cenderung
ke arah aktivasi sel TH2, yaitu aktivasi imunitas humoral (sel B).
Terjadi aktivasi sel B poliklonal sehingga kadar imunoglobulin serum meningkat,
yang dapat mengakibatkan pula produksi autoantibodi dengan akibat timbulnya
penyakit autoimun seperti purpura trombositopenik idiopatik dan neutropenia
imun. Aktivasi poliklonal sel B ini juga dapat membuat sel B menjadi refrakter
sehingga tidak dapat bereaksi dengan antigen baru.
Mekanisme terjadinya gangguan ini masih belum jelas.
Dikatakan bahwa gangguan ini akibat efek langsung HIV terhadap sel T CD4+ dan
efek gp120 yang berikatan dengan sel yang tidak terinfeksi. CD4 yang berikatan
dengan gp120 tidak dapat berinteraksi dengan MHC kelas II pada APC, sehingga
respons sel T terhadap antigen dihambat. Selain itu, penempelan gp120 pada CD4
ini akan mengeluarkan sinyal untuk menurunkan fungsi sel T. Beberapa studi menunjukkan
bahwa proporsi sel TH1 (mensekresi IL-2 dan IFN-γ) menurun dan
proporsi sel TH2-like (mensekresi IL-4 dan IL-10) meningkat
pada pasien HIV. Perubahan ini dapat menjelaskan kerentanan pasien HIV terhadap
infeksi mikroba intraselular karena IFN-γ berperan untuk aktivasi, sedangkan
IL-4 dan IL-10 untuk menghambat pemusnahan mikroba oleh makrofag.
Protein Tat berperan pada patogenesis imunodefisiensi akibat
HIV. Di dalam sel T, Tat berinteraksi dengan berbagai protein regulator
seperti p300 koaktivator transkripsi, yang akan mengganggu fungsi sel T
misalnya sintesis sitokin. Tat tidak hanya dapat masuk ke nukleus, namun
dapat pula melewati membran plasma dan memasuki sel di dekatnya.
Makrofag, sel dendrit, dan sel dendrit folikular juga
berperan penting dalam infeksi HIV dan progresifitas imunodefisiensi.
- Makrofag mengekspresikan CD4 jauh lebih sedikit dibandingkan sel TH, tetapi mengekspresikan koreseptor CCR5 sehingga rentan terhadap infeksi HIV. Beberapa strain HIV cenderung menginfeksi makrofag karena predileksi ikatan dengan koreseptor CCR5 di makrofag daripada koreseptor CXCR4 pada sel T. Makrofag relatif resisten terhadap efek sitopatik HIV, mungkin karena diperlukan ekspresi CD4 yang tinggi untuk terjadinya virus-induced cytotoxicity. Makrofag juga terinfeksi melalui fagositosis sel terinfeksi atau endositosis virion HIV yang diselubungi antibodi. Karena makrofag dapat terinfeksi namun sulit dibunuh oleh virus, makrofag menjadi reservoir HIV. Makrofag yang terinfeksi HIV akan terganggu fungsinya dalam hal presentasi antigen dan sekresi sitokin.
- Seperti makrofag, sel dendrit tidak secara langsung dirusak oleh infeksi HIV. Sel dendrit dan makrofag dapat menginfeksi sel T naif selama proses presentasi antigen sehingga dianggap sebagai jalur yang penting dalam kerusakan sel T.
- Sel dendrit folikular (FDC) di kelenjar getah bening dan limpa menangkap HIV dalam jumlah besar di permukaannya, sebagian melalui ikatan virus dan antibodi. Meskipun FDC tidak terinfeksi secara efisien berkontribusi dalam patogenesis efisiensi imun melalui virus HIV yang terikat di permukaan selnya dan mampu menginfeksi makrofag dan sel T CD4 di kelenjar getah bening.
Respons imun terhadap HIV
Pada pasien HIV terjadi respons imun humoral dan selular
terhadap produk gen HIV. Respons awal terhadap infeksi HIV serupa dengan pada
infeksi virus lainnya dan dapat menghancurkan sebagian besar virus di dalam
darah dan sel T yang bersirkulasi. Terdapat 3 karakteristik respons imun
terhadap HIV. Pertama, respons imun dapat berbahaya terhadap pejamu, misalnya
dengan menstimulasi uptake virus yang teropsonisasi kepada sel yang
tidak terinfeksi melalui endositosis yang diperantarai Fc reseptor atau melalui
eradikasi sel T CD4+ yang mengekspresi antigen virus oleh sel T
sitotoksik CD8+. Kedua, antibodi terhadap HIV merupakan petanda
infeksi HIV yang digunakan secara luas untuk uji tapis tetapi sedikit yang
memiliki efek netralisasi. Ketiga, pembuatan vaksin HIV memerlukan pengetahuan
tentang epitop virus yang paling mungkin menstimulasi imunitas protektif.
Respons imun awal terhadap infeksi HIV mempunyai
karakteristik ekspansi masif sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik
terhadap protein HIV. Respons antibodi terhadap berbagai antigen HIV dapat
dideteksi dalam 6-9 minggu setelah infeksi, namun hanya sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa antibodi mempunyai efek yang bermanfaat untuk mengontrol infeksi.
Molekul HIV yang menimbulkan respons antibodi terbesar adalah glikoprotein envelope, sehingga terdapat titer
anti-gp120 dan anti-gp41 yang tinggi pada sebagian besar pasien HIV. Antibodi anti-envelope merupakan inhibitor
yang buruk terhadap infektivitas virus atau efek sitopatik.
Terdapat antibodi netralisasi dengan titer rendah pada
pasien HIV. Antibodi netralisasi ini dapat menginaktivasi HIV in vitro.
Terdapat pula antibodi yang memperantarai ADCC. Semua antibodi ini spesifik
terhadap gp120. Belum ditemukan korelasi antara titer antibodi dengan keadaan
klinis. Uji tapis standar untuk HIV menggunakan imunofluoresensi atau enzyme-linked immunoassay untuk
mendeteksi antibodi anti-HIV pada serum. Setelah dilakukan uji tapis dengan
hasil yang positif, sering dilanjutkan dengan Western blot atau radioimmunoassay
untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap protein virus tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
http://hivaidsclinic.wordpress.com/2012/08/13/perjalanan-penyakit-dan-respon-imunologi-hiv-aids/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KATA-KATA ANDA ADALAH KUALITAS DIRI ANDA